obrolankopi

Hari-hari Mbecak Pak Harry

In Social Culture on March 30, 2011 at 9:24 am

 

 

Teman Ngobrol #8:

Harry van Yogya / 43 th/ Tukang Becak

Yogyakarta

 

*****

Awal tahun lalu saya mendengar berita tentang seorang tukang becak di Yogyakarta yang menawarkan jasanya lewat Facebook. Harry van Yogya. Begitu nama yang tertulis di profil Facebook miliknya. Selain berpromosi jasa becak, ia juga membantu para turis—baik lokal maupun luar—yang ingin berlibur ke Yogya. Mulai dari reservasi penginapan, hingga mengunjungi destinasi-destinasi wisata favorit di sana. Dalam waktu singkat, ia menjadi buah bibir para turis, baik lokal maupun luar. Tak hanya itu, banyak pula media yang berebut ingin mengulas profil dirinya.

Berangkat dari rasa penasaran tersebut, saya berdua rekan menyambangi Yogyakarta pada Februari 2010. Seminggu sebelum keberangkatan, saya menghubungi Pak Harry via Facebook. Saya bercerita tentang tujuan saya menemuinya, selain itu, meminta bantuannya untuk reservasi penginapan selama saya di Yogya. Ia merespon dengan baik. Beberapa hari setelahnya ia mengabari di mana saya akan menginap nanti, bahkan uang mukanya juga sudah ia bayarkan terlebih dahulu. Singkat kata, kami bertemu di penginapan saya yang terletak di Jalan Prawirotaman 2. Setelah sempat berbincang-bincang sebentar, kami memutuskan untuk melanjutkan obrolan di kafe Via Via yang berada di gang sebelah, yakni Jalan Prawirotaman. Di tempat itulah ia bercerita panjang lebar. Tak hanya soal hari-harinya sebagai tukang becak, persahabatannya dengan turis Belanda, hingga bagaimana ia kehilangan istri yang sangat ia cintai saat gempa bumi melanda bumi Yogyakarta pada Mei 2006.

Berikut penuturannya.

 

Tentang mbecak dan media sosial

Saya ini angkatan ’88, lulusan SMA De Britto, Yogyakarta. Seangkatan sama Pius Yustrilanang. Sempat nerusin kuliah di Sanata Dharma, jurusan Matematika. Tapi ya cuma dua semester.

 

Saya tukang becak dan biasa mangkal di depan Hotel Airlangga, Jalan Prawirotaman.

 

Bulan-bulan awal narik becak, pernah ngguling waktu angkut penumpang bule karena saya nggak bisa menghindari truk waktu itu. Untungnya dia nggak marah.

 

Tukang becak di sini (Yogya –red) rata-rata bisa bahasa Inggris. Tapi kalau digrendengin (diomelin) bule ya nggak ngerti juga! Hahaha.. Makanya ada bule yang lebih suka cegat becak di jalan. Mereka cari yang nggak ngerti bahasa Inggris.

 

Selain bahasa Indonesia dan Jawa, saya bisa bahasa Inggris dan Belanda. Meskipun cuma komunikasi standar, tapi saya bisa. Saya suka cari terjemahan bahasa di Google translate.

 

Becak di Yogya itu beda-beda. Lain orang, lain harga yang dikasih. Harusnya para tukang becak bisa konsekuen. Misalnya, kalau turis belanja banyak, dibayar lebih rendah ya nggak apa-apa. Kan hitung-hitung bantu perekonomian lokal. Kalau mereka nggak belanja, baru minta harga normal.

 

Perbedaan turis lokal sama asing menurut saya, turis lokal suka ngaret, rencana berubah-ubah, dan jarang kasih tip. Kalau turis asing lebih tepat waktu dan biasanya rencana yang dimiliki sudah pasti. Selain itu lebih sering kasih tip.

 

Saya punya (akun) Facebook, Friendster, Twitter, dan Kaskus, tapi yang aktif cuma Facebook.

 

Saya terinspirasi oleh Obama, yang menang pemilu yang aktif berkampaye di Facebook. Saya malas dengan Friendster dan Twitter karena orang-orangnya nggak jelas. Nama saya di Facebook “Harry van Yogya”, kalau di Kaskus “Harry Saru”.

 

Lucunya, banyak orang yang baru kenal di internet minta dicarikan hotel dan berani langsung transfer uang! Lha kalau saya jahat bagaimana? Makanya saya harus menjaga kepercayaan orang-orang. Sekali khilaf, selesai sudah.

 

Banyak yang kirim message di Facebook, tapi saya balas yang benar-benar urgent. Kalau cuma kenalan atau basa-basi, nggak bisa saya saya tanggapi semua. Kalau di Kaskus saya aktif di forum yang membahas tentang chatting.

 

Saya royal dengan pulsa HP dan rokok. Kasarnya, nggak makan ya nggak apa-apa deh!

 

 

Tentang keluarga dan cita-cita

Gempa 27 Mei 2006 lalu memisahkan saya dengan istri. Saya sempat shock dan menyalahkan diri sendiri. Tapi karena Agnes, anak perempuan saya yang waktu itu berumur 5 bulan, selamat, saya punya semangat hidup lagi.

 

Saya ayah beranak tiga: Lucky (13 tahun), Kevin (12 tahun), dan Agnes (4 tahun). Kalau saya lagi mbecak, mereka dijaga kakeknya.

 

Banyak yang tanya kenapa saya nggak jadi tour guide aja. Alasannya banyak: kendala bahasa, terlalu banyak yang dikerjakan, harus menguasai banyak hal, dan faktor single parent. Saya nggak bisa tinggalin anak-anak terus.

 

Dulu pernah coba ternak bebek, tapi ikut hancur karena gempa. Terus dikasih modal sama orang Belanda 20 juta untuk usaha bebek lagi. Tapi kondisi waktu itu nggak mendukung. Setelah gempa, cari pakan bebek susah sekali. Kalaupun ada, harganya mahal. Padahal kan bebek harus rutin diaksih makan.

 

Rumah yang saya tinggali sekarang, merupakan hasil bantuan dari teman, warga negara Belanda yang tinggal di Inggris. Setiap bulan saya dikirimi 5 juta. Tapi sampai sekarang pembangunannya belum beres juga. Meskipun total sudah sekitar 60 juta yang dikirim, tapi karena diangsur tiap bulan, jadinya ya lama.

 

 

Tentang hobi dan cita-cita

Saya suka menulis tentang kehidupan. Isinya ya apa saja, biasanya tentang pengalaman pribadi saya. Bisa juga tentang cerita teman-teman tukang becak. Ya apapun lah yang ada di sekitar. Saya tahu diri, masa tukang becak ngomongin politik.

 

Saya tertarik sama hal-hal unik. Dulu pernah foto bule yang tidur di boks ATM karena hotel-hotel sudah penuh. Saya kirim ke majalah, dan sempat dimuat! Tapi sayang sekarang fotonya sudah hilang.

 

Jadi terkenal begini karena dulu awalnya saya nulis di blog Kompas. Momennya pas, lagi booming efek negatif Facebook. Setelah itu, banyak media yang mulai meliput saya. Kalau dari TV, kecuali Indosiar, TPI, dan Global tv. Media lokal dan sendiri belum ada.

 

Dulu teman-teman De Britto sempat berencana ingin bikin buku tentang saya. Tapi waktu momennya nggak pas. Siapa saya? Untuk apa saya diekspos? Kalau sekarang, orang-orang banyak yang kenal dengan saya. Tapi nggak tau deh, nggak ada obrolan lagi tentang buku itu.

 

Gara-gara “terkenal”, saya malah jarang narik becak lagi. Banyak orang minta bantuan (wisata -red) melalui Facebook. Dari situlah saya dapat tambahan penghasilan.

 

Kepingin juga cari kerjaan lain, misalnya ternak lele atau ayam kampung. Yang penting bisa survive. Pernah juga ditawari bikin penginapan dengan suasana desa. Jadi ceritanya paket wisata all in one, ada fasilitas tur ke desa-desa dan tempat rekreasi juga.

 

Saya malas kerja jadi bawahan yang disuruh-suruh terus. Menurut saya, tukang becak adalah pekerjaan yang paling merdeka. Saya bisa bebas kerja dan istirahat kapan pun saya mau. Gak ada jam khusus kapan harus narik (becak) dan pulang.

*****

 

(Foto: Eddo Dadyka)


Pak Harry dapat dihubungi di:

Facebook

*Catatan penulis

Hasil obrolan ini sebelumnya pernah dipublikasikan di situs Dulalip dengan judul yang sama. Obrolan Kopi kali ini menampilkan tulisan yang telah melalui proses penyuntingan ulang.

 

Kini Pak Harry masih bekerja sebagai tukang becak sambil aktif membantu para turis yang ingin berwisata ke Yogyakarta. Jika tak ada aral melintang, bukunya yang berjudul “The Becak Way” akan terbit pada pertengahan April tahun ini. Walikota Yogyakarta, H. Herry Zudianto, dan pakar telematika, Onno W. Purbo, didaulat untuk memberikan kata pengantar dalam buku ini.


Ia sempat menuliskan status tentang mengurus laporan pajak di akun Facebook-nya yang sempat memancing banyak komentar. Meski hanya berprofesi sebagai tukang becak, ia sadar kewajibannya sebagai warga negara yang baik adalah membayar pajak. Baca juga tulisannya yang berjudul “Sadar Pajak” di blog Kompasiana.

  1. Memang pak Harry orang yang sangat ramah, pertama berjumpa semalam. mau berbagi dengan yang lain. Salut untuk pak Harry…

  2. boleh diajarin menjadi tourgide gak pak harry??

  3. Kalau nggak salah…. Pak Harry ini teman satu kelas saya di 2 A1 angkatan 88
    Dulu posisinya striker waktu main bola di kesebelasan kelas. Saya back kadang jadi kiper. Bener nggak ya. Tapi yang sering jadi kiper Soni.

Leave a comment